AGIKAN: Komentar (4) Andi Faisal Sofyan Hasdam (tengah) dilantik sebagai Ketua DPRD Kota Bontang, Jumat (4/10/2019).(Istimewa) Penulis Dandy Bayu Bramasta | Editor Sari Hardiyanto KOMPAS.com - Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) mencatat ada 48 calon legislatif periode 2019-2024 yang mungkin menciptakan dinasti politik di partai politik maupun di parlemen. Partai Nasdem misalnya, anak sang Ketua Umum Surya Paloh, yakni Prananda Surya Paloh, menjadi caleg terpilih dari daerah pemilihan Sumatera Utara I. Di daerah praktik dinasti politik juga terjadi di Kota Bontang, Kalimantan Timur yang dikuasai Golkar. Di mana dua kadernya duduk sebagai wali kota dan ketua DPRD Bontang. Dua kader itu adalah ibu dan anak. Sang ibu Neni Moerniaeni menjabat sebagai wali kota, sedangkan anaknya Andi Faisal Sofyan Hasdam menjabat sebagai ketua DPRD Botang. Andi yang berusia 34 tahun ini dilantik pada Jumat (4/10/2019) di Bontang. Sedangkan ibunya, menjadi Wali Kota Bontang sejak tahun 2015 hingga sekarang. Ayah dari Andi, Sofyan Hasdam, juga pernah menjabat sebagai Wali Kota Bontang selama 10 tahun atau dua periode. Menanggapi hal itu, Direktur Pusat Kajian Politik (Puskapol) UI Aditya Perdana menjelaskan fenomena tersebut merupakan hal yang sudah biasa. Baca juga: Fenomena Pelajar Turun ke Jalan, Melek Politik atau Eksploitasi Anak? Keluarga mapan Menurutnya, kejadian seperti itu tidak hanya terjadi di Bontang saja, tetapi juga banyak ditemukan di daerah lain. "Fenomena seperti itu menurut saya sudah biasa, artinya bukan hanya di Bontang saja, banyak kita temukan begitu. Misalkan saja keluarga dari Bupati Pandeglang, kan suami dan tiga anaknya juga terpilih jadi anggota DPR," kata Aditya saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (5/10/2019). "Jadi situasinya saat ini dinasti politik keluarga itu memang sekarang semakin menguat, dan itu banyak terjadi di banyak tempat, entah di Jawa, Sulawesi, Sumatera atau dimanapun di Indonesia," lanjut dia. Hal tersebut menurut dia, menunjukkan bahwa seorang calon legislatif memiliki kecenderungan menang karena memang dia memiliki relasi keluarga yang cukup mapan. Sehingga, tidak mengagetkan bila kemudian entah anak, ayah, ibu atau anggota keluarga yang lain pasti berkelinran dalam jabatan-jabatan politik, entah di eksekutif atau legislatif. Selain itu Aditya mengatakan, faktor yang membuat pemilih tetap memilih calon tersebut walaupun tahu mereka berasal dari satu keluarga. "Ya sebenarnya faktornya lebih ke keluarga, jadi ikatan emosional individual atau figur, itu sekarang lebih dominan ketimbang partai politik," terang dia. Selain itu, terdapat pula andil dari sistem pemilu yang cenderung ke sistem mayoritas. "Meskipun profesional representation, tapi dengan open list atau daftar terbuka, kemudian perolehan suara terbanyak, sehingga orang memilih cenderung berdasarkan figur, sama halnya dengan sistem yang berlaku di pilkada atau pilpres kemarin," ungkap dia. Baca juga: Mereka yang Tergiur Surga Politik, dari Artis, Anak Pejabat hingga Jubir Istana Politik uang Oleh karena figur serta ketokohan yang kuat, menurut dia, maka yang muncul hanya dari tokoh-tokoh lokal, entah di birokrasi atau politisi yang menjadi pemimpin daerah. "Ketika itu berhubungan dengan anaknya, lalu anaknya menjadi caleg, maka anaknya itu sudah pasti yang pemahaman dan pengetahuan politik dan juga jejaring politiknya belum besar, mau tidak mau ya dapat support yang signifikan dri orangtuanya," kata dia lagi. Aditya juga tak menampik faktor lain yang menjadi andil adalah karena faktor politik uang. Namun, hal itu tetap harus diperhatikan lagi apakah dinasti atau keluarganya melakukan hal yang sama atau tidak. "Mungkin saja begitu, walaupun hal itu sulit untuk dibuktikan, tapi artinya bila bicara tentang politik uang, maka korelasinya apakah tokoh atau figur ini ketika memenangkan pertarungan di pilkada ataupun di pemilu legislatif menggunakan uang atau tidak, biasanya juga menggunakan politik uang," terang dia. Namun, hal yang berbeda justru diungkapkan oleh pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada Kuskridho Ambardi. Menurutnya, tak masalah bila dalam satu keluarga ada yang menjadi caleg atau pemimpin daerah. "Satu keluarga sebenarnya tak masalah. Di negara lain juga ada dinasti. Yang penting, kriteria pengalaman dan prestasi tetap yang utama," ujar Kuskridho Ambardi, yang biasa disapa Dody saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (5/10/2019). Lebih lanjut, dia mengungkapkan bila calon tersebut berpengalaman dan berprestasi tidak ada salahnya. Hanya saja, menurut dia, di Indonesia seringkali hubungan keluarga mengalahkan kriteria prestasi. Saat disinggung mengapa calon yang berasal dari satu keluarga yang sama tetap saja terpilih, ia menjelaskan beberapa alasan. "Sering, situasinya, pemilih tak punya informasi tentang prestasi itu. Mereka hanya tahu dari massifnya kampanye. Di situ pemilih tak memiliki info komplit tentang kandidat," lanjut dia. Jadi, menurut dia, yang berkampanye lebih banyak kemudian dikenal lebih banyak oleh pemilih. Kans kemenangan mereka meningkat di situ. Tentu saja, meningkatnya jumlah kampanye seiring dengan dengan meningkatnya juga uang yang dikeluarkan. sumber: https://www.kompas.com/tren/read/2019/10/06/073000765/ketika-dinasti-politik-semakin-menguat-?page=all
Rabu, 09 Oktober 2019
Ketika Dinasti Politik Semakin Menguat.
AGIKAN: Komentar (4) Andi Faisal Sofyan Hasdam (tengah) dilantik sebagai Ketua DPRD Kota Bontang, Jumat (4/10/2019).(Istimewa) Penulis Dandy Bayu Bramasta | Editor Sari Hardiyanto KOMPAS.com - Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) mencatat ada 48 calon legislatif periode 2019-2024 yang mungkin menciptakan dinasti politik di partai politik maupun di parlemen. Partai Nasdem misalnya, anak sang Ketua Umum Surya Paloh, yakni Prananda Surya Paloh, menjadi caleg terpilih dari daerah pemilihan Sumatera Utara I. Di daerah praktik dinasti politik juga terjadi di Kota Bontang, Kalimantan Timur yang dikuasai Golkar. Di mana dua kadernya duduk sebagai wali kota dan ketua DPRD Bontang. Dua kader itu adalah ibu dan anak. Sang ibu Neni Moerniaeni menjabat sebagai wali kota, sedangkan anaknya Andi Faisal Sofyan Hasdam menjabat sebagai ketua DPRD Botang. Andi yang berusia 34 tahun ini dilantik pada Jumat (4/10/2019) di Bontang. Sedangkan ibunya, menjadi Wali Kota Bontang sejak tahun 2015 hingga sekarang. Ayah dari Andi, Sofyan Hasdam, juga pernah menjabat sebagai Wali Kota Bontang selama 10 tahun atau dua periode. Menanggapi hal itu, Direktur Pusat Kajian Politik (Puskapol) UI Aditya Perdana menjelaskan fenomena tersebut merupakan hal yang sudah biasa. Baca juga: Fenomena Pelajar Turun ke Jalan, Melek Politik atau Eksploitasi Anak? Keluarga mapan Menurutnya, kejadian seperti itu tidak hanya terjadi di Bontang saja, tetapi juga banyak ditemukan di daerah lain. "Fenomena seperti itu menurut saya sudah biasa, artinya bukan hanya di Bontang saja, banyak kita temukan begitu. Misalkan saja keluarga dari Bupati Pandeglang, kan suami dan tiga anaknya juga terpilih jadi anggota DPR," kata Aditya saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (5/10/2019). "Jadi situasinya saat ini dinasti politik keluarga itu memang sekarang semakin menguat, dan itu banyak terjadi di banyak tempat, entah di Jawa, Sulawesi, Sumatera atau dimanapun di Indonesia," lanjut dia. Hal tersebut menurut dia, menunjukkan bahwa seorang calon legislatif memiliki kecenderungan menang karena memang dia memiliki relasi keluarga yang cukup mapan. Sehingga, tidak mengagetkan bila kemudian entah anak, ayah, ibu atau anggota keluarga yang lain pasti berkelinran dalam jabatan-jabatan politik, entah di eksekutif atau legislatif. Selain itu Aditya mengatakan, faktor yang membuat pemilih tetap memilih calon tersebut walaupun tahu mereka berasal dari satu keluarga. "Ya sebenarnya faktornya lebih ke keluarga, jadi ikatan emosional individual atau figur, itu sekarang lebih dominan ketimbang partai politik," terang dia. Selain itu, terdapat pula andil dari sistem pemilu yang cenderung ke sistem mayoritas. "Meskipun profesional representation, tapi dengan open list atau daftar terbuka, kemudian perolehan suara terbanyak, sehingga orang memilih cenderung berdasarkan figur, sama halnya dengan sistem yang berlaku di pilkada atau pilpres kemarin," ungkap dia. Baca juga: Mereka yang Tergiur Surga Politik, dari Artis, Anak Pejabat hingga Jubir Istana Politik uang Oleh karena figur serta ketokohan yang kuat, menurut dia, maka yang muncul hanya dari tokoh-tokoh lokal, entah di birokrasi atau politisi yang menjadi pemimpin daerah. "Ketika itu berhubungan dengan anaknya, lalu anaknya menjadi caleg, maka anaknya itu sudah pasti yang pemahaman dan pengetahuan politik dan juga jejaring politiknya belum besar, mau tidak mau ya dapat support yang signifikan dri orangtuanya," kata dia lagi. Aditya juga tak menampik faktor lain yang menjadi andil adalah karena faktor politik uang. Namun, hal itu tetap harus diperhatikan lagi apakah dinasti atau keluarganya melakukan hal yang sama atau tidak. "Mungkin saja begitu, walaupun hal itu sulit untuk dibuktikan, tapi artinya bila bicara tentang politik uang, maka korelasinya apakah tokoh atau figur ini ketika memenangkan pertarungan di pilkada ataupun di pemilu legislatif menggunakan uang atau tidak, biasanya juga menggunakan politik uang," terang dia. Namun, hal yang berbeda justru diungkapkan oleh pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada Kuskridho Ambardi. Menurutnya, tak masalah bila dalam satu keluarga ada yang menjadi caleg atau pemimpin daerah. "Satu keluarga sebenarnya tak masalah. Di negara lain juga ada dinasti. Yang penting, kriteria pengalaman dan prestasi tetap yang utama," ujar Kuskridho Ambardi, yang biasa disapa Dody saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (5/10/2019). Lebih lanjut, dia mengungkapkan bila calon tersebut berpengalaman dan berprestasi tidak ada salahnya. Hanya saja, menurut dia, di Indonesia seringkali hubungan keluarga mengalahkan kriteria prestasi. Saat disinggung mengapa calon yang berasal dari satu keluarga yang sama tetap saja terpilih, ia menjelaskan beberapa alasan. "Sering, situasinya, pemilih tak punya informasi tentang prestasi itu. Mereka hanya tahu dari massifnya kampanye. Di situ pemilih tak memiliki info komplit tentang kandidat," lanjut dia. Jadi, menurut dia, yang berkampanye lebih banyak kemudian dikenal lebih banyak oleh pemilih. Kans kemenangan mereka meningkat di situ. Tentu saja, meningkatnya jumlah kampanye seiring dengan dengan meningkatnya juga uang yang dikeluarkan. sumber: https://www.kompas.com/tren/read/2019/10/06/073000765/ketika-dinasti-politik-semakin-menguat-?page=all
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
-
Puan Maharani Ketua DPR 2019-2024 (Foto: Lamhot Aritonang) Jakarta - Lembaga pemerintahan paling maskulin di Indonesia dipimpin o...
-
, Jakarta - Wakil Ketua MPR dari Fraksi PDI Perjuangan Ahmad Basarah memastikan amandemen terbatas tidak menyentuh ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar