Jakarta -
Lembaga pemerintahan paling maskulin di Indonesia dipimpin oleh seorang perempuan. Sungguh kabar yang mengejutkan seantero negeri. Namun itulah kenyataannya. Pada pelantikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Selasa (1/10) nama Puan Maharani terpilih menjadi ketua lembaga legislatif tersebut. Putri dari mantan Presiden ke-4 RI Megawati Soekarnoputri itu menjadi perempuan pertama yang berhasil menduduki jabatan tertinggi lembaga legislatif di negeri ini.
Ia pun sempat mengatakan ingin menjadi inspirasi bagi perempuan Indonesia dalam dunia politik. Menurutnya, politik bukan suatu hal yang tabu bagi perempuan dan merupakan dinamika yang harus dihadapi sehingga dapat menghasilkan perempuan yang berguna bagi bangsa dan negara.
Membawa embel-embel representasi perempuan dalam politik tentu bukan perkara mudah bagi Puan ke depannya. Mengingat rekam jejaknya dalam dunia politik tak pernah terlepas dari sosok sang ibunda, dan juga PDIP yang kini menjadi partai penguasa dengan kemenangan yang signifikan. Mungkinkah kehadiran Puan di DPR akan mengubah keadaan perpolitikan Tanah Air yang sudah kadung sangat maskulin?
Seberapa krusial peran Puan sebagai seorang pemimpin politik dalam menyelesaikan persoalan-persoalan kaum perempuan di Indonesia?
Garis Keturunan
Perempuan yang memiliki nama lengkap Puan Maharani Nakshatra Kusyala tersebut adalah legislator dari PDIP yang mendapat suara terbanyak dengan perolehan mencapai 404.034 suara di Dapil Jawa Tengah V. Sebuah capaian yang fantastis tentunya.
Puan adalah putri mahkota. Begitu kiranya cara paling mudah menggambarkan sosok putri satu-satunya Megawati Soekarnoputri tersebut. Sebagai politisi yang lahir dari garis keturunan bangsawan politik, Puan tentu sudah sangat akrab dengan dunia politik sejak ia kecil. Apalagi, kakeknya adalah sang Proklamator, dan ibunya adalah mantan presiden.
Carlos M. Vilas, seorang sosiolog Meksiko mengatakan pentingnya garis keturunan untuk menggambarkan posisi seseorang dalam hierarki masyarakat. Garis keturunan menjadi identitas yang tidak bisa sepenuhnya menggantikan kelas sosial dalam struktur masyarakat dan pentingnya keluarga berkuasa dalam membentuk struktur sosial-ekonomi, institusi politik, dan kehidupan budaya suatu negara.
Potret inilah yang dimiliki Puan sebagai seorang politisi. Tanpa menafikan rekam jejak dan pengalamannya dalam politik selama ini, garis keturunan politik yang kuat tentu memberikannya privilege politik yang mungkin tak bisa dinikmati oleh perempuan-perempuan lain.
Meskipun tak ada yang salah dengan keistimewaan-keistimewaan yang didapatnya, tentu sah-sah saja mempertanyakan peran Puan yang baru sebagai pemimpin lembaga legislatif kita hari ini.
Puan bisa dibilang sebagai simbol kedigdayaan politik perempuan saat ini. Sayangnya, banyak perempuan di Indonesia yang susah mendapatkan privilege politik. Jika melihat data, merujuk pada laporan Investing in Women Australia, kesenjangan perempuan dalam politik di Indonesia berada pada skor 0,227 dari 1.00. Secara keseluruhan, Indonesia berada di peringkat 10 di Asia Pasifik untuk kategori ini. Kondisi ini tentu saja tidak baik mengingat dalam konteks politik, peran perempuan teramat penting dalam mewujudkan kebijakan publik pro kesetaraan gender.
Marginalisasi politik perempuan ini pun akan berdampak pada proses politik kebijakan publik yang tidak adil. Asumsi ini pun dibenarkan oleh Toni Schofield dan Susan Goodwin dalam jurnalnya yang berjudul Gender Politics and Public Policy Making: Prospects for Advancing Gender Equality. Ia berpendapat bahwa masih menguatnya masculine hegemony dalam rezim pengambil kebijakan menyebabkan terjadinya gender inequality di mana output kebijakan yang dikeluarkan kerap merugikan dan tak memberikan ruang bagi perempuan untuk melakukan pembelaan diri.
Di samping itu, walaupun telah ada peraturan pengarusutamaan gender dalam politik, misalnya dengan kuota 30% perempuan di parlemen, nyatanya angka tersebut tak pernah benar-benar terpenuhi. Kondisi ini terjadi karena memang dominasi budaya politik maskulin yang masih amat tinggi dalam sistem politik kita.
Bahkan politisi perempuan PDIP, Eva Kusuma Sundari pernah mengeluarkan pengakuan bahwa kekalahan perempuan dalam kontestasi politik elektoral biasanya terletak pada saat mereka harus tarung bebas saat kampanye. Caleg perempuan harus berkompetisi ekstra keras dengan politisi laki-laki dalam merebut suara. Lalu, mampukah Puan menjadi corong bagi kesetaraan politik perempuan?
Banyak Persoalan
Idealnya, posisi kepemimpinan perempuan dapat dikatakan lebih "berkualitas" dibanding dengan kepemimpinan laki-laki. Hipotesis ini sempat diuji oleh Mala N. Htun, Professor Ilmu Politik di University of New Mexico dalam tulisannya yang berjudul Women in Political Power in Latin America.
Ia menemukan kepemimpinan perempuan lebih baik dibanding kepemimpinan laki-laki dalam konteks politik di Amerika Latin. Dalam sebuah jajak pendapat, masyarakat Amerika Latin nyatanya merasa bahwa kepemimpinan perempuan lebih efektif dibandingkan kepemimpinan laki-laki. Hal ini berkaitan dengan kepercayaan bahwa perempuan lebih memiliki sifat-sifat kejujuran dan mampu mengambil kebijakan dengan baik, serta mampu memerangi korupsi dan melindungi lingkungan.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Benarkah cita-cita kesetaraan gender terwujud semata-mata karena kita dipimpin oleh seorang pemimpin perempuan? Jawabannya adalah belum tentu. Potret itulah yang kini tengah menghantui saya, dan Anda, para pemerhati isu kesetaraan gender yang mungkin tengah resah dengan terpilihnya Puan Maharani menjadi pucuk pimpinan DPR.
Nyatanya, banyak persoalan yang dihadapi perempuan di Indonesia tak pernah terselesaikan dengan baik. Sebut saja alotnya ketuk palu Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang tak kunjung disahkan oleh DPR.
Padahal, data menunjukkan bahwa angka kekerasan seksual di Indonesia menunjukkan tren peningkatan dari tahun ke tahun. Laporan CATAHU Komnas Perempuan 2019, menyebutkan terdapat 406.178 kasus kekerasan seksual. Masih tingginya angka tersebut menjadi sebuah keprihatinan tersendiri mengingat negara seringkali abstain membela hak-hak perempuan, bahkan dilevel paling dasar sekalipun. Bahkan yang ada saat ini RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) seolah kini hanya menjadi seonggok bualan.
Untuk itu, menunggu peran Puan yang ingin menunjukkan supremasi perempuan dalam politik tentu sangat dinantikan. Jangan sampai kehadirannya justru menunjukkan adanya womens leadership paradox. Merujuk pada Orrin Edgar Klapp dalam bukunya yang berjudul Symbolic Leaders: Public Dramas and Public Men, jangan sampai kehadirannya hanya akan menjadi pemimpin simbolik yakni seseorang yang menjalankan kepemimpinannya melalui status, prestise dan reputasi.
Terlebih, jika perempuan mengandalkan legitimasi kekuasaan berdasarkan kekuatan simbolis dan investasi politik yang telah dibangun oleh para pendahulunya tentu hal tersebut akan berdampak buruk, utamanya bagi kemandirian perempuan dalam politik. Ekses terburuknya bisa jadi menyebabkan perempuan ikut terbawa arus politik maskulin. Jangan sampai kehadiran Puan di Lembaga wakil rakyat tersebut tak lebih dari sekedar memperkuat politik dinasti yang telah sejak lama dibangun oleh kakek dan ibunya. sumber:
https://news.detik.com/kolom/d-4739194/puan-harapan-dan-paradoks-kesetaraan-gender-dalam-politik