Rabu, 09 Oktober 2019

Ketika Dinasti Politik Semakin Menguat.

Andi Faisal Sofyan Hasdam (tengah) dilantik sebagai Ketua DPRD Kota Bontang, Jumat (4/10/2019).






AGIKAN: Komentar (4) Andi Faisal Sofyan Hasdam (tengah) dilantik sebagai Ketua DPRD Kota Bontang, Jumat (4/10/2019).(Istimewa) Penulis Dandy Bayu Bramasta | Editor Sari Hardiyanto KOMPAS.com - Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) mencatat ada 48 calon legislatif periode 2019-2024 yang mungkin menciptakan dinasti politik di partai politik maupun di parlemen. Partai Nasdem misalnya, anak sang Ketua Umum Surya Paloh, yakni Prananda Surya Paloh, menjadi caleg terpilih dari daerah pemilihan Sumatera Utara I. Di daerah praktik dinasti politik juga terjadi di Kota Bontang, Kalimantan Timur yang dikuasai Golkar. Di mana dua kadernya duduk sebagai wali kota dan ketua DPRD Bontang. Dua kader itu adalah ibu dan anak. Sang ibu Neni Moerniaeni menjabat sebagai wali kota, sedangkan anaknya Andi Faisal Sofyan Hasdam menjabat sebagai ketua DPRD Botang. Andi yang berusia 34 tahun ini dilantik pada Jumat (4/10/2019) di Bontang. Sedangkan ibunya, menjadi Wali Kota Bontang sejak tahun 2015 hingga sekarang. Ayah dari Andi, Sofyan Hasdam, juga pernah menjabat sebagai Wali Kota Bontang selama 10 tahun atau dua periode. Menanggapi hal itu, Direktur Pusat Kajian Politik (Puskapol) UI Aditya Perdana menjelaskan fenomena tersebut merupakan hal yang sudah biasa. Baca juga: Fenomena Pelajar Turun ke Jalan, Melek Politik atau Eksploitasi Anak? Keluarga mapan Menurutnya, kejadian seperti itu tidak hanya terjadi di Bontang saja, tetapi juga banyak ditemukan di daerah lain. "Fenomena seperti itu menurut saya sudah biasa, artinya bukan hanya di Bontang saja, banyak kita temukan begitu. Misalkan saja keluarga dari Bupati Pandeglang, kan suami dan tiga anaknya juga terpilih jadi anggota DPR," kata Aditya saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (5/10/2019). "Jadi situasinya saat ini dinasti politik keluarga itu memang sekarang semakin menguat, dan itu banyak terjadi di banyak tempat, entah di Jawa, Sulawesi, Sumatera atau dimanapun di Indonesia," lanjut dia. Hal tersebut menurut dia, menunjukkan bahwa seorang calon legislatif memiliki kecenderungan menang karena memang dia memiliki relasi keluarga yang cukup mapan. Sehingga, tidak mengagetkan bila kemudian entah anak, ayah, ibu atau anggota keluarga yang lain pasti berkelinran dalam jabatan-jabatan politik, entah di eksekutif atau legislatif. Selain itu Aditya mengatakan, faktor yang membuat pemilih tetap memilih calon tersebut walaupun tahu mereka berasal dari satu keluarga. "Ya sebenarnya faktornya lebih ke keluarga, jadi ikatan emosional individual atau figur, itu sekarang lebih dominan ketimbang partai politik," terang dia. Selain itu, terdapat pula andil dari sistem pemilu yang cenderung ke sistem mayoritas. "Meskipun profesional representation, tapi dengan open list atau daftar terbuka, kemudian perolehan suara terbanyak, sehingga orang memilih cenderung berdasarkan figur, sama halnya dengan sistem yang berlaku di pilkada atau pilpres kemarin," ungkap dia. Baca juga: Mereka yang Tergiur Surga Politik, dari Artis, Anak Pejabat hingga Jubir Istana Politik uang Oleh karena figur serta ketokohan yang kuat, menurut dia, maka yang muncul hanya dari tokoh-tokoh lokal, entah di birokrasi atau politisi yang menjadi pemimpin daerah. "Ketika itu berhubungan dengan anaknya, lalu anaknya menjadi caleg, maka anaknya itu sudah pasti yang pemahaman dan pengetahuan politik dan juga jejaring politiknya belum besar, mau tidak mau ya dapat support yang signifikan dri orangtuanya," kata dia lagi. Aditya juga tak menampik faktor lain yang menjadi andil adalah karena faktor politik uang. Namun, hal itu tetap harus diperhatikan lagi apakah dinasti atau keluarganya melakukan hal yang sama atau tidak. "Mungkin saja begitu, walaupun hal itu sulit untuk dibuktikan, tapi artinya bila bicara tentang politik uang, maka korelasinya apakah tokoh atau figur ini ketika memenangkan pertarungan di pilkada ataupun di pemilu legislatif menggunakan uang atau tidak, biasanya juga menggunakan politik uang," terang dia. Namun, hal yang berbeda justru diungkapkan oleh pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada Kuskridho Ambardi. Menurutnya, tak masalah bila dalam satu keluarga ada yang menjadi caleg atau pemimpin daerah. "Satu keluarga sebenarnya tak masalah. Di negara lain juga ada dinasti. Yang penting, kriteria pengalaman dan prestasi tetap yang utama," ujar Kuskridho Ambardi, yang biasa disapa Dody saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (5/10/2019). Lebih lanjut, dia mengungkapkan bila calon tersebut berpengalaman dan berprestasi tidak ada salahnya. Hanya saja, menurut dia, di Indonesia seringkali hubungan keluarga mengalahkan kriteria prestasi. Saat disinggung mengapa calon yang berasal dari satu keluarga yang sama tetap saja terpilih, ia menjelaskan beberapa alasan. "Sering, situasinya, pemilih tak punya informasi tentang prestasi itu. Mereka hanya tahu dari massifnya kampanye. Di situ pemilih tak memiliki info komplit tentang kandidat," lanjut dia. Jadi, menurut dia, yang berkampanye lebih banyak kemudian dikenal lebih banyak oleh pemilih. Kans kemenangan mereka meningkat di situ. Tentu saja, meningkatnya jumlah kampanye seiring dengan dengan meningkatnya juga uang yang dikeluarkan. sumber: https://www.kompas.com/tren/read/2019/10/06/073000765/ketika-dinasti-politik-semakin-menguat-?page=all

UGM Batalkan Kuliah Umum UAS, Dahnil: Pimpinan UGM Bak Rezim Politik


UGM Batalkan Kuliah Umum UAS, Dahnil: Pimpinan UGM Bak Rezim Politik

Jakarta - Peneliti Senior Institute Kajian Strategis UKRI Dahnil Anzar Simanjuntak menyesalkan sikap Universitas Gadjah Mada (UGM) yang membatalkan kuliah umum yang rencananya diisi oleh Ustaz Abdul Somad (UAS) di Masjid Kampus UGM. Menurut Dahnil, sikap tersebut menunjukkan bahwa UGM telah kehilangan identitasnya.

"Saya sesalkan sikap UGM tersebut. Kampus telah kehilangan identitasnya sebagai 'University' di mana, Kampus adalah rumahnya diversity (perbedaan, keberagaman) pandangan lahir. Tempat di mana pikiran diadu," ujar Dahnil kepada wartawan, Kamis (9/10/2019).


mantan Ketum Pemuda Muhammadiyah itu menyebut pimpinan UGM telah berubah menjadi rezim politik. Dahnil menyesalkan jika seluruh civitas akademika di UGM hanya berdiam diri dengan sikap semena-mena tersebut.

"Pimpinan UGM telah berubah bak rezim politik yang anti perbedaan. Saya sesalkan bila civitas akademika, para fakulti berdiam diri terhadap laku pimpinan UGM yang anti Diversity, berlaku bak rezim politik terkait pelarangan terhadap Ustadz Abdul Somad. Saya berasumsi seluruh civitas akademika dan fakulti di UGM kehilangan otoritas moral sebagai intelektual," katanya.

"University adalah rumah di mana persemaian perbagai pemikiran lahir, dan beradu satu dengan lainnya. Bila tak bersepakat dengan satu pemikiran maka adu dengan pemikiran lain. Bukan, justru bertindak represif melarang Intelektual (Ustaz) seperti Abdul Somad menyampaikan gagasannya di UGM," sambung Dahnil. sumber: https://news.detik.com/berita/d-4740288/ugm-batalkan-kuliah-umum-uas-dahnil-pimpinan-ugm-bak-rezim-politik

Puan, Harapan, dan Paradoks Kesetaraan Gender dalam Politik

Puan, Harapan, dan Paradoks Kesetaraan Gender dalam PolitikPuan Maharani Ketua DPR 2019-2024 (Foto: Lamhot Aritonang)
Jakarta -
Lembaga pemerintahan paling maskulin di Indonesia dipimpin oleh seorang perempuan. Sungguh kabar yang mengejutkan seantero negeri. Namun itulah kenyataannya. Pada pelantikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Selasa (1/10) nama Puan Maharani terpilih menjadi ketua lembaga legislatif tersebut. Putri dari mantan Presiden ke-4 RI Megawati Soekarnoputri itu menjadi perempuan pertama yang berhasil menduduki jabatan tertinggi lembaga legislatif di negeri ini.
Ia pun sempat mengatakan ingin menjadi inspirasi bagi perempuan Indonesia dalam dunia politik. Menurutnya, politik bukan suatu hal yang tabu bagi perempuan dan merupakan dinamika yang harus dihadapi sehingga dapat menghasilkan perempuan yang berguna bagi bangsa dan negara.
Membawa embel-embel representasi perempuan dalam politik tentu bukan perkara mudah bagi Puan ke depannya. Mengingat rekam jejaknya dalam dunia politik tak pernah terlepas dari sosok sang ibunda, dan juga PDIP yang kini menjadi partai penguasa dengan kemenangan yang signifikan. Mungkinkah kehadiran Puan di DPR akan mengubah keadaan perpolitikan Tanah Air yang sudah kadung sangat maskulin?

Seberapa krusial peran Puan sebagai seorang pemimpin politik dalam menyelesaikan persoalan-persoalan kaum perempuan di Indonesia?
Garis Keturunan

Perempuan yang memiliki nama lengkap Puan Maharani Nakshatra Kusyala tersebut adalah legislator dari PDIP yang mendapat suara terbanyak dengan perolehan mencapai 404.034 suara di Dapil Jawa Tengah V. Sebuah capaian yang fantastis tentunya.

Puan adalah putri mahkota. Begitu kiranya cara paling mudah menggambarkan sosok putri satu-satunya Megawati Soekarnoputri tersebut. Sebagai politisi yang lahir dari garis keturunan bangsawan politik, Puan tentu sudah sangat akrab dengan dunia politik sejak ia kecil. Apalagi, kakeknya adalah sang Proklamator, dan ibunya adalah mantan presiden.
Carlos M. Vilas, seorang sosiolog Meksiko mengatakan pentingnya garis keturunan untuk menggambarkan posisi seseorang dalam hierarki masyarakat. Garis keturunan menjadi identitas yang tidak bisa sepenuhnya menggantikan kelas sosial dalam struktur masyarakat dan pentingnya keluarga berkuasa dalam membentuk struktur sosial-ekonomi, institusi politik, dan kehidupan budaya suatu negara.
Potret inilah yang dimiliki Puan sebagai seorang politisi. Tanpa menafikan rekam jejak dan pengalamannya dalam politik selama ini, garis keturunan politik yang kuat tentu memberikannya privilege politik yang mungkin tak bisa dinikmati oleh perempuan-perempuan lain.
Meskipun tak ada yang salah dengan keistimewaan-keistimewaan yang didapatnya, tentu sah-sah saja mempertanyakan peran Puan yang baru sebagai pemimpin lembaga legislatif kita hari ini.
Puan bisa dibilang sebagai simbol kedigdayaan politik perempuan saat ini. Sayangnya, banyak perempuan di Indonesia yang susah mendapatkan privilege politik. Jika melihat data, merujuk pada laporan Investing in Women Australia, kesenjangan perempuan dalam politik di Indonesia berada pada skor 0,227 dari 1.00. Secara keseluruhan, Indonesia berada di peringkat 10 di Asia Pasifik untuk kategori ini. Kondisi ini tentu saja tidak baik mengingat dalam konteks politik, peran perempuan teramat penting dalam mewujudkan kebijakan publik pro kesetaraan gender.
Marginalisasi politik perempuan ini pun akan berdampak pada proses politik kebijakan publik yang tidak adil. Asumsi ini pun dibenarkan oleh Toni Schofield dan Susan Goodwin dalam jurnalnya yang berjudul Gender Politics and Public Policy Making: Prospects for Advancing Gender Equality. Ia berpendapat bahwa masih menguatnya masculine hegemony dalam rezim pengambil kebijakan menyebabkan terjadinya gender inequality di mana output kebijakan yang dikeluarkan kerap merugikan dan tak memberikan ruang bagi perempuan untuk melakukan pembelaan diri.
Di samping itu, walaupun telah ada peraturan pengarusutamaan gender dalam politik, misalnya dengan kuota 30% perempuan di parlemen, nyatanya angka tersebut tak pernah benar-benar terpenuhi. Kondisi ini terjadi karena memang dominasi budaya politik maskulin yang masih amat tinggi dalam sistem politik kita.
Bahkan politisi perempuan PDIP, Eva Kusuma Sundari pernah mengeluarkan pengakuan bahwa kekalahan perempuan dalam kontestasi politik elektoral biasanya terletak pada saat mereka harus tarung bebas saat kampanye. Caleg perempuan harus berkompetisi ekstra keras dengan politisi laki-laki dalam merebut suara. Lalu, mampukah Puan menjadi corong bagi kesetaraan politik perempuan?

Banyak Persoalan

Idealnya, posisi kepemimpinan perempuan dapat dikatakan lebih "berkualitas" dibanding dengan kepemimpinan laki-laki. Hipotesis ini sempat diuji oleh Mala N. Htun, Professor Ilmu Politik di University of New Mexico dalam tulisannya yang berjudul Women in Political Power in Latin America.

Ia menemukan kepemimpinan perempuan lebih baik dibanding kepemimpinan laki-laki dalam konteks politik di Amerika Latin. Dalam sebuah jajak pendapat, masyarakat Amerika Latin nyatanya merasa bahwa kepemimpinan perempuan lebih efektif dibandingkan kepemimpinan laki-laki. Hal ini berkaitan dengan kepercayaan bahwa perempuan lebih memiliki sifat-sifat kejujuran dan mampu mengambil kebijakan dengan baik, serta mampu memerangi korupsi dan melindungi lingkungan.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Benarkah cita-cita kesetaraan gender terwujud semata-mata karena kita dipimpin oleh seorang pemimpin perempuan? Jawabannya adalah belum tentu. Potret itulah yang kini tengah menghantui saya, dan Anda, para pemerhati isu kesetaraan gender yang mungkin tengah resah dengan terpilihnya Puan Maharani menjadi pucuk pimpinan DPR.
Nyatanya, banyak persoalan yang dihadapi perempuan di Indonesia tak pernah terselesaikan dengan baik. Sebut saja alotnya ketuk palu Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang tak kunjung disahkan oleh DPR.

Padahal, data menunjukkan bahwa angka kekerasan seksual di Indonesia menunjukkan tren peningkatan dari tahun ke tahun. Laporan CATAHU Komnas Perempuan 2019, menyebutkan terdapat 406.178 kasus kekerasan seksual. Masih tingginya angka tersebut menjadi sebuah keprihatinan tersendiri mengingat negara seringkali abstain membela hak-hak perempuan, bahkan dilevel paling dasar sekalipun. Bahkan yang ada saat ini RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) seolah kini hanya menjadi seonggok bualan.
Untuk itu, menunggu peran Puan yang ingin menunjukkan supremasi perempuan dalam politik tentu sangat dinantikan. Jangan sampai kehadirannya justru menunjukkan adanya womens leadership paradox. Merujuk pada Orrin Edgar Klapp dalam bukunya yang berjudul Symbolic Leaders: Public Dramas and Public Men, jangan sampai kehadirannya hanya akan menjadi pemimpin simbolik yakni seseorang yang menjalankan kepemimpinannya melalui status, prestise dan reputasi.
Terlebih, jika perempuan mengandalkan legitimasi kekuasaan berdasarkan kekuatan simbolis dan investasi politik yang telah dibangun oleh para pendahulunya tentu hal tersebut akan berdampak buruk, utamanya bagi kemandirian perempuan dalam politik. Ekses terburuknya bisa jadi menyebabkan perempuan ikut terbawa arus politik maskulin. Jangan sampai kehadiran Puan di Lembaga wakil rakyat tersebut tak lebih dari sekedar memperkuat politik dinasti yang telah sejak lama dibangun oleh kakek dan ibunya. sumber: https://news.detik.com/kolom/d-4739194/puan-harapan-dan-paradoks-kesetaraan-gender-dalam-politik

Politik 'Gotong Royong' Berwujud Kursi Wakil Menteri

Politik 'Gotong Royong' Berwujud Kursi Wakil Menteri Presiden Joko Widodo bersama Menteri Kabinet Indonesia Kerja saat rapat terbatas. (CNN Indonesia/Christie Stefanie)
Jakarta, CNN Indonesia -- Wacana tentang penambahan posisi wakil menteri di periode kedua pemerintahan Joko Widodo sudah didengungkan usai Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin sebagai pemenang Pilpres 2019.

Pada Agustus 2019, Sekjen DPP PDIP Hasto Kristiyanto pernah mengatakan penambahan wakil menteri merupakan hal yang penting. Hasto juga menegaskan penambahan itu bukan berarti karena didasarkan bagi-bagi 'kue' kekuasaan.

"Bukan dalam konteks bagi-bagi portofolio," kata Hasto, ketika itu.

Menurut Hasto, wakil-wakil menteri yang nantinya dibentuk harus sesuai agenda strategis dan melihat tantangan yang dihadapi kementerian tersebut.Kini, tinggal hitungan hari Jokowi dilantik. Postur kabinet Jokowi-Ma'ruf belum juga dibocorkan ke publik. Namun, soal wacana penambahan Wakil Menteri diprediksi akan terealisasi.


Direktur Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Sirojuddin Abbas berpendapat Jokowi dan PDIP bakal memperbanyak jumlah posisi wakil menteri. Dia berasumsi demikian lantaran pos wakil menteri bisa mengakomodir kebutuhan politik untuk para parpol pendukung.

"Apalagi, PDIP sedang berupaya betul menjalankan politik gotong royong. Terjemahan 'gotong royong' dalam politik adalah akomodasi dan bagi-bagi kekuasaan. Khususnya di kalangan elite. Dengan demikian, semua unsur yang terlibat mendapatkan bagian," kata Sirojuddin saat dihubungi, Senin (7/10).

Pasangan Jokowi-Ma'ruf  disokong sejumlah partai politik pada Pilpres 2019 lalu. Di antaranya, PDIP, Golkar, PKB, PPP, NasDem, Hanura, Perindo, PSI, dan PKPI.

Namun, jumlah parpol yang mendukung Jokowi di pemerintahan selanjutnya bisa bertambah jika melihat dinamika yang berkembang. Salah satunya Gerindra yang sudah bertemu dengan ketua umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Presiden Jokowi setelah Pilpres 2019.

Peluang PAN untuk bergabung juga tidak sepenuhnya tertutup. Terlebih, mereka pun memiliki riwayat pindah haluan. Pada 2014 lalu, PAN tidak mendukung Jokowi-Jusuf Kalla pada Pilpres. Namun, PAN kemudian memutuskan untuk bergabung menjadi bagian dari pemerintahan.

Penambahan Wakil Menteri dianggap bisa menjadi jurus paling ampuh untuk mewujudkan politik gotong-royong.

Jabatan wakil menteri sebenarnya bukan barang baru, dan juga telah diatur dalam UU nomor 39 tahun 2018 tentang Kementerian Negara.

Di era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) 2009-2014 ada 19 wakil menteri. Di masa Jokowi juga ada, yakni wakil menteri ESDM, keuangan dan luar negeri.

Sirojuddin mengatakan bahwa posisi Jokowi saat ini sama dengan SBY pada 2009. Kala itu, koalisi pemerintah begitu gemuk karena ada banyak parpol pendukung di dalamnya.


Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan Jokowi akan memperbanyak posisi wakil menteri seperti periode kepemimpinan SBY pada 2009-2014 lalu.

"Jika Jokowi ingin mencapai target-target yang ditetapkannya untuk 2019-2024, maka akomodasi kekuasaan melalui penciptaan posisi wakil-wakil menteri harus dipikirkan hati-hati. Malah, lebih baik dihindari," kata Sirojuddin.

Sirojuddin menganggap posisi wakil menteri tidak menjamin roda pemerintahan berjalan optimal. Tidak menjamin pula target-target yang dirancang bisa tercapai.

Dia berkaca dari masa pemerintahan SBY, ketika ada begitu banyak wakil menteri tetapi kinerja pemerintahan tetap tidak optimal.

Terkadang, ada perbedaan pendapat serius antara menteri dan wakil menteri. Akhirnya, pengambilan keputusan jadi lebih lamban.

"Belum lagi, ada kemungkinan terjadi semacam kompetisi dan perebutan pengaruh antara menteri dan wakilnya," ucap Sirojuddin.

"Jadi, penambahan posisi wakil menteri tidak otomatis membuat kinerja kementerian menjadi lebih efektif dan produktif. Malah justru memperbesar resiko ineffisiensi dan konflik," lanjutnya.



Senada, Direktur Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno mengatakan tidak menutup kemungkinan posisi wakil menteri akan bertambah di periode selanjutnya.

Menurutnya, itu mungkin saja dilakukan Jokowi demi mendistribusikan kekuasaan kepada parpol pendukungnya yang begitu banyak.

"Jabatan wakil menteri itu sebenarnya antara pos untuk kalangan profesional atau partai politik. Tetapi lebih condong mengakomodir kepentingan partai politik," tuturnya.

Adi tidak ingin memosisikan dirinya setuju atau tidak setuju jika jumlah wakil menteri bertambah di periode selanjutnya. Dia hanya ingin mengingatkan bahwa wakil menteri yang begitu banyak di era SBY tidak seirama dengan peningkatan kinerja pemerintahan.

"Secara umum, dulu itu ya sama saja. Ada atau tidak ada wakil, ya sama aja. Ekonomi tetap, segitu aja. Politik, hukum memang sudah stabil karena tidak resistensi dari oposisi yang lebih lemah," kata Adi.

Andai Jokowi benar-benar menambah jumlah wakil menteri, Adi menyarankan agar benar-benar selektif. Jangan sampai ada wakil menteri yang hanya membebankan anggaran.

Dia menegaskan bahwa beban moral wakil menteri adalah untuk mempercepat atau meningkatkan kinerja pemerintahan. Bisa diisi oleh kalangan profesional mau pun kader partai politik, asalkan memiliki kapabilitas.

"Yang penting benar-benar tunduk pada Presiden. Bangun tidur pagi, laporan ke Presiden. Bukan kepada ketua umum partainya dulu," ucap Adi. sumber: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20191007124457-32-437423/politik-gotong-royong-berwujud-kursi-wakil-menteri

PDIP Pastikan Amandemen Terbatas UUD 1945 Tidak Sentuh Pemilihan Presiden





Bambang Soesatyo Jadi Ketua MPR RI periode 2019-2024



, Jakarta - Wakil Ketua MPR dari Fraksi PDI Perjuangan Ahmad Basarah memastikan amandemen terbatas tidak menyentuh tata cara pemilihan presiden. PDIP memiliki sikap hanya ingin mengubah pasal 3 UUD 1945 yang menyangkut kewenangan MPR. PDIP hanya ingin menambah kewenangan MPR untuk menambah menetapkan Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
"Kalau soal pemilihan presiden, sikap PDIP sudah sangat jelas, yang diubah hanya pasal 3, yang menyangkut wewenang MPR. Yaitu menambah wewenang menetapkan GBHN," ujar Basarah di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu 9 Oktober 2019.Karena alasan demikian mengubah kewenangan MPR untuk menetapkan GBHN, kata Basarah, tidak harus menjadikan pemilihan presiden oleh MPR.
"Oleh karena itu, tidak ada hubungannya dengan tata cara pemilihan presiden. Juga tidak ada kaitannya dengan tata cara pemberhentian presiden. Karena dua pasal itu tidak diubah," ujar Ketua DPP PDI Perjuangan itu.
Basarah menegaskan, MPR tidak akan diam-diam dalam melakukan amandemen UUD 1945. Melalui Badan Pengkajian MPR, akan menyerap aspirasi masyarakat. Badan Pengkajian itu juga akan menyamakan persepsi fraksi-fraksi di MPR terhadap wacana amandemen UUD 1945
"Prinsipnya, MPR tidak akan diam-diam, tidak akan sembunyi-sembunyi, tidak akan meninggalkan partisipasi publik untuk mendengarkan bagaimana pandangan dan pendapat mereka tentang amendemen terbatas itu," kata Basarah.







Diuji Publik




Dia menuturkan, MPR akan uji publik. Jika masyarakat, ketua umum partai politik, pimpinan lembaga negara setuju, sampai Presiden Joko Widodo setuju, maka MPR akan mengambil langkah formil untuk mengusulkan perubahan UUD 1945 untuk menetapkan GBHN.
"Kalau sudah sama, baru kita uji publik, masyarakat setuju, ketua umum parpol setuju, pimpinan lembaga negara setuju, presiden Jokowi setuju, baru kita melangkah kepada langkah formil yaitu mengusulkan secara kelembagaan sepertiga anggota mengusulkan perubahan UUD khusus pasal tentang wewenang MPR menetapkan Haluan Negara," tegasnya.

Maraknya Buzzer Politik Bisa Merusak Demokrasi di Indonesia


Maraknya Buzzer Politik Bisa Merusak Demokrasi di Indonesia

JAKARTA
- Dua ilmuwan dari Universitas Oxford, Inggris, yaitu Samantha Bradshaw dan Philip Howard, melansir hasil riset yang diterbitkan baru-baru ini. Bahwa pemerintah dan partai politik Indonesia membayar pasukan siber atau buzzer untuk memanipulasi opini publik.

views: 12.833


views: 12.833

Pengerahan buzzer oleh pemerintah atau partai politik di sejumlah negara di dunia ini, diulas oleh Bradshaw dan Howard dalam hasil riset yang berjudul "The Global Disinformation Order, 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation".
Menanggapi hal itu, pakar komunikasi digital, Anthony Leong meminta jika memang pemerintah membina para buzzer politik sebaiknya pemerintah mengakhiri penggunaan buzzer politik karena akan berdampak penurunan iklim demokrasi di Indonesia.

"Jika diorganisir, sebaiknya ditertibkan segera. Karena bisa berdampak buruk pada demokrasi kita. Ini yang bicara peneliti Oxford bukan dari kita. Jika Pemerintah bekerja dengan baik dan memegang amanat rakyat dengan sungguh-sungguh, menurut saya tidak perlu lagi digunakan buzzer politik. Masyarakat jika merasakan dampak positif pasti akan otomatis jadi influencer pemerintah. Kalau hanya mendengungkan saja hanya lahirkan kosmetik opini," ujar Anthony Leong, Rabu (9/10/2019).

Eks Koordinator Prabowo-Sandi Digital Team (PRIDE) pada Pilpres 2019 lalu itu menambahkan, isu sosial seperti ini harusnya sudah selesai. Ia menilai saat ini masyarakat Indonesia yang sempat berbeda pilihan politik pada Pemilu kemarin sudah kembali erat.

"Jangan sampai kehadiran buzzer politik yang hanya bisa mengbuzz tanpa berdasarkan fakta ini bisa berpotensi membelah kita, nantinya akan terjadi divided nation. Ini yang harus kita kawal bersama," papar Anthony.

CEO Menara Digital ini menambahkan bahwa penggunaan buzzer tidak hanya di dunia politik dan pemerintahan saja melainkan banyak terjadi di dunia bisnis.

"Dunia bisnis atau swasta pun membutuhkan orang yang bisa membantu mereka untuk menyampaikan apa yang mereka rasa penting dari sisi perusahaan dan kemudian bisa diterima oleh konsumen dengan baik. Misalkan perusahaan yang sudah IPO atau perusahaan nasional lainnya terus menjaga bagaimana di dunia digital terus positif. Jika private sektor pakai ini sah-sah saja," jelas dia.

"Ketimbang fokus pada buzzer politik untuk memanipulasi data, manipulasi opini, lebih baik kita bersama-sama hadirkan kesejahteraan, keadilan ekonomi, dan investasi. KIta harapkan putra-putri terbaik bangsa yang menjadi pemimpin nasional bisa membawa arah bangsa kita lebih baik lagi," pungkas Anthony.

Perpres 63/2019 Jadi Kado Manis di Hari Sumpah Pemuda

JAKARTA - Kepala Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Kemendikbud, Dadang Sunendar, mengatakan, Perpres Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia menjadi kado peringatan Sumpah Pemuda ke-91 yang jatuh pada 28 Oktober mendatang.

"Saya setuju bila keluarnya Perpres ini ibarat kado perayaan Sumpah Pemuda yang ke-91, yang di dalamnya ada sumpah bahasa persatuan," kata Dadang saat berbincang dengan Okezone di Jakarta, Kamis (10/9/2019).
Dadang berharap perluasan pengaturan penggunaan bahasa Indonesia ini dapat meningkatkan rasa cinta Tanah Air atau nasionalisme bangsa. Pasalnya, bahasa Indonesja merupakan simbol negara dan alat pemersatu bangsa.
"Itu harapan kita semua. Bahasa Indonesia adalah salah satu simbol negara kita, jati diri bangsa, alat pemersatu bangsa, dan ruh besar bangsa," jelasnya.
Dadang menjelaskan, Perpres 63 Tahun 2019 ini merupakan perbaikan dari Perpres Nomor 16 Tahun 2010 yang diterbitkan pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dengan adanya beleid terbaru ini, maka Perpres 16 Tahun 2010 dicabut dan tidak berlaku lagi.
"Dalam Perpres sebelumnya hanya diatur penggunaan bahasa Indonesia dalam pidato Presiden, Wakil Presiden, dan Pejabat negara lainnya, sedangkan pengaturan yang lain belum ada," tukasnya.
Presiden Jokowi
Diwartakan sebelumnya, pengaturan penggunaan bahasa Indonesia diperluas lewat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 63 Tahun 2019 yang diteken Presiden Jokowi pada 30 September 2019. Dalam Perpres itu disebutkan bahwa bahasa Indonesia wajib digunakan sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan nasional dalam seluruh jenjang pendidikan.

Perpres ini juga menyebutkan bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pelayanan administrasi publik di instansi pemerintahan, paling sedikit digunakan dalam: a. komunikasi antara penyelenggara dan penerima layanan publik; b. standar pelayanan publik; c. maklumat pelayanan; dan d. sistem infomasi pelayanan. 

Undangan digital